Profesional[1]
(Hal-04) Baru-baru
ini LP3ES melakukan jajak pendapat. Siapakah sebaiknya yang duduk di kabinet
mendatang? Hasil polling itu menunjukkan
bahwa masyarakat ingin agar kabinet mendatang diisi oleh kaum professional.
Bukan oleh para politikus.
Keinginan dan harapan masyarakat itu bukan
tanpa alasan. Bertahun-tahun umat ini menjadi orang-orang yang terjajah di
negeri sendiri. Semua atas nama stabilitas atau pembangunan. Padahal segalanya
untuk dan demi politik semata. Akibatnya, seperti kata K.H. Zainuddin MZ di
negeri ini lebih banyak politisinya ketimbang negarawannya. Karena memang
Negara ini bak lahan pembiakan untuk para politikus, dan bukan mesin pembinaan
bagi para negarawan.
Dari sekian politikus itu, banyak yang
modalnya hanya retorika. Mereka kerap berbicara berdasar asumsi-asumsi dan
andai-andai belaka. Orang-orang yang berperilaku seperti itu sering
dikategorikan sebagai tipe manusia primitif. Sebab orang modern menurut jargon
kaum peneliti berbicara berbasis data bukan menduga-duga.
Ini jurang yang curam. Yang memisahkan antara
harapan masyarakat akan profesionalisme dengan realitas kepemimpinan bangsa
ini. Tetapi ironi tersebut masih menyisakan berderet-deret ironi lain, saat
profesionalisme di negeri ini tak lagi punya tenaga. Meski sekadar untuk
kepentingan duniawi saja. Lihatlah hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) belum lama ini. Menghadapi
millennium bug, Indonesia bersama Thailand, Malaysia dan
Vietnam akan menghadapi kesulitan untuk memasuki ‘industri padat pengetahuan’
karena keterbatasan tenaga kerja terampil. Bahkan, dari 12 negara di Asia yang
disurvei, Indonesia berada di urutan terakhir. Sedang peringkat diduduki Jepang. Padahal masih menurut
lembaga yang bermarkas di Hongkong itu, daya saing suatu Negara pada masa
mendatang akan ditentukan pada mutu pekerja terampilnya.
Renungan ini tak sekadar sebuah keprihatinan.
Tetapi tuntutan profesionalisme layak dihayati karena memang sunnatullah sendiri tegak atas asas
profesionalitas. Langit yang tujuh dan buminya pula, matahari, bulan,
bintang-bintang dalam lintas edarnya, malam dan siang, (QS. 36:37-40) adalah
wajah bulat tentang profesionalisme dalam sunnatullah
itu.
Karenanya, professional bagi seorang mukmin
seharusnya tidak saja berkonotasi the
right man in the right place, tapi sejauh mana ia meletakkan niat dan
tindakan sesuai kehendak dan sunnah
Allah. Sebab tak ada gunanya hidup jika tidak ditujukan kepada Allah. Dari
sanalah profesionalisme keimanan itu diharapkan menjadi landasan dari segala
tindakan dan kerja teknis berikutnya, hingga lahir profesionalisme amal shalih.
Rumusan ini akan menjadikan seorang mukmin
tidak saja puas secara konvensional atas ihsan
dan itqonnya di hadapan orang. Tapi
lebih jauh akan membuatnya mampu bersyukur kepada Allah sekaligus merindukan
keridhaan dan balasan yang lebih besar di akhirat kelak. Lalu, bila
profesionalisme itu menginduk secara ilmiah kepada teori-teori manajemen, maka
menarik sekali statemen DR.Muh. A. Al-Buraey. Pakar manajemen dari King Fahd
University of Petroleum and Mineral itu mengatakan,”pada prinsipnya manajemen
sekuler dan manajemen Islam itu sama. Yang membedakannya mungkin syura versus voting. Bila voting lebih mengutamakan suara yang lebih besar maka
syura memilih maslahat yang lebih besar.”
Pada akhirya bila kita tambahkan ke dalam
profesionalisme itu semangat ukhuwah, ta’awun
dan rasa tanggung jawab, maka Insya Allah produktivitas amal kita akan
meningkat. Dan dalam tataran interaksi sosial, bila sekali lagi Kiai Zainuddin
MZ mengatakan di negeri ini lebih banyak ‘tukang kompor’ dibanding ‘tukang
lem’, maka dengan semua itu kita akan bisa menjadi tukang-tukang lem itu.
Semoga.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar