Selasa, 01 September 2020

Profesional

 

Profesional[1] 

(Hal-04) Baru-baru ini LP3ES melakukan jajak pendapat. Siapakah sebaiknya yang duduk di kabinet mendatang?  Hasil polling itu menunjukkan bahwa masyarakat ingin agar kabinet mendatang diisi oleh kaum professional. Bukan oleh para politikus.



Keinginan dan harapan masyarakat itu bukan tanpa alasan. Bertahun-tahun umat ini menjadi orang-orang yang terjajah di negeri sendiri. Semua atas nama stabilitas atau pembangunan. Padahal segalanya untuk dan demi politik semata. Akibatnya, seperti kata K.H. Zainuddin MZ di negeri ini lebih banyak politisinya ketimbang negarawannya. Karena memang Negara ini bak lahan pembiakan untuk para politikus, dan bukan mesin pembinaan bagi para negarawan.

Dari sekian politikus itu, banyak yang modalnya hanya retorika. Mereka kerap berbicara berdasar asumsi-asumsi dan andai-andai belaka. Orang-orang yang berperilaku seperti itu sering dikategorikan sebagai tipe manusia primitif. Sebab orang modern menurut jargon kaum peneliti berbicara berbasis data bukan menduga-duga.

Ini jurang yang curam. Yang memisahkan antara harapan masyarakat akan profesionalisme dengan realitas kepemimpinan bangsa ini. Tetapi ironi tersebut masih menyisakan berderet-deret ironi lain, saat profesionalisme di negeri ini tak lagi punya tenaga. Meski sekadar untuk kepentingan duniawi saja. Lihatlah hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) belum lama ini. Menghadapi millennium bug,  Indonesia bersama Thailand, Malaysia dan Vietnam akan menghadapi kesulitan untuk memasuki ‘industri padat pengetahuan’ karena keterbatasan tenaga kerja terampil. Bahkan, dari 12 negara di Asia yang disurvei, Indonesia berada di urutan terakhir. Sedang peringkat  diduduki Jepang. Padahal masih menurut lembaga yang bermarkas di Hongkong itu, daya saing suatu Negara pada masa mendatang akan ditentukan pada mutu pekerja terampilnya.

Renungan ini tak sekadar sebuah keprihatinan. Tetapi tuntutan profesionalisme layak dihayati karena memang sunnatullah sendiri tegak atas asas profesionalitas. Langit yang tujuh dan buminya pula, matahari, bulan, bintang-bintang dalam lintas edarnya, malam dan siang, (QS. 36:37-40) adalah wajah bulat tentang profesionalisme dalam sunnatullah itu.

Karenanya, professional bagi seorang mukmin seharusnya tidak saja berkonotasi the right man in the right place, tapi sejauh mana ia meletakkan niat dan tindakan sesuai kehendak dan sunnah Allah. Sebab tak ada gunanya hidup jika tidak ditujukan kepada Allah. Dari sanalah profesionalisme keimanan itu diharapkan menjadi landasan dari segala tindakan dan kerja teknis berikutnya, hingga lahir profesionalisme amal shalih.

Rumusan ini akan menjadikan seorang mukmin tidak saja puas secara konvensional atas ihsan dan itqonnya di hadapan orang. Tapi lebih jauh akan membuatnya mampu bersyukur kepada Allah sekaligus merindukan keridhaan dan balasan yang lebih besar di akhirat kelak. Lalu, bila profesionalisme itu menginduk secara ilmiah kepada teori-teori manajemen, maka menarik sekali statemen DR.Muh. A. Al-Buraey. Pakar manajemen dari King Fahd University of Petroleum and Mineral itu mengatakan,”pada prinsipnya manajemen sekuler dan manajemen Islam itu sama. Yang membedakannya mungkin syura versus voting. Bila voting lebih mengutamakan suara yang lebih besar maka syura memilih maslahat yang lebih besar.”

Pada akhirya bila kita tambahkan ke dalam profesionalisme itu semangat ukhuwah, ta’awun dan rasa tanggung jawab, maka Insya Allah produktivitas amal kita akan meningkat. Dan dalam tataran interaksi sosial, bila sekali lagi Kiai Zainuddin MZ mengatakan di negeri ini lebih banyak ‘tukang kompor’ dibanding ‘tukang lem’, maka dengan semua itu kita akan bisa menjadi tukang-tukang lem itu. Semoga.*

 

 

 



[1] Majalah Tarbawi, Edisi 004 Th.I, 05 Rajab 1420 H, 15 Oktober 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar